SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERGABUNG BERSAMA KAMI DI KEPENGHULUAN
WILUJENG SASARENGAN DI WEB BALE NYUNGCUNG

Sabtu, 24 Juli 2010

bahtsul

Dalam pertemuan pertama ini pembahasan belum menukik kepada persoalan-persoalan munakahat secara detail. Pembahasan masih merupakan sebuah pembukaan melihat dan mengamati berbagai persoalan dalam pernikahan yang sering terjadi di masyarakat.

Pembahasan di mulai dengan pembukaan dari Kepala KUA yang mengungkap tentang perkembangan teknologi yang memungkinkan prosesi akad nikah dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan teknologi “TV Conperence”. Dengan teknologi ini kita bisa berinteraksi jarak jauh secara tatap mata langsung. Bahkan di jaman yang serba modern ini teknologi tersebut sudah bisa kita gunakan sehari-hari dengan menggunakan alat komunikasi telepon, yakni HP (Hand Phone) dengan teknologi 3G-nya. Hal ini patut menjadi kajian bersama apakah pernikahan dengan cara tersebut bisa syah adanya?

Persoalan kedua yang mengemuka adalah persoalan kelonggaran dalam menerapkan kelengkapan administrasi pernikahan yang justru sering menjadi bumerang bagi para petugas, baik P2H maupun penghulu. Dalam hal ini merupakan sebuah pesan yang ditujukan kepada para P2H dan penghulu untuk meminimalisir persoalan-persoalan yang akan muncul kemudian akibat kelalaian dalam pengurusan segala kelengkapan administrasi pernikahan.

Persoalan ketiga adalah persoalan pernikahan sirri yang memang masih saja sering terjadi di masyarakat. Pesan yang kemudian mengemuka adalah apakah dua kali ‘akad yang dilakukan pengantin syah adanya. Hal ini terkait kondisi bahwa ketika ada pasangan mempelai menguruskan pernikahan ke KUA dan meminta buku nikah, sedangkan pihak KUA tidak merasa telah melakukan pencatatan pernikahan mereka, maka sebagai jalan keluar termudah adalah menganggap pasangan tersebut belum menikah secara syah berdasar UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “Pernikahan dianggap syah apabila dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah”. Oleh karena itu maka kemudian dilakukan lagi akad pernikahan di hadapan petugas. Maka kemudian muncul pertanyaan secara agama apakah dua kali akad tersebut syah atau tidak? Sementara ini ada dua jawaban: Pertama berdasar keterangan tokoh di Kecamatan Cibeureum menyatakan bahwa hal tersebut menjadikan akad yang pertama rusak. Kedua berdasar pada keterangan dari seorang tokoh di Kecamatan Kawalu bahwa hal tersebut tidak menjadi persoalan artinya syah-syah saja kasusnya hampir sama dengan tajdidul wudlu.

Persoalan keempat adalah tentang kehadiran mempelai wanita pada saat akad nikah. Sementara ini ada golongan tertentu yang dengan keinginan sendiri menganggap kehadiran mempelai wanita bergandengan dengan mempelai laki-laki ketika akan melakukan akad nikah menyalahi aturan agama dalam hal haramnya dua orang yang bukan muhrim, laki-laki dan perempuan duduk bersama. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah hanya mempelai wanita yang haram karena muhrim, sementara di saat itu juga hadir bercampur baur antara laki-laki dan wanita padahal mereka bukan juga muhrim bagi yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah mencari cara yang terbaik berdasar agama dan adat istiadat serta peraturan perundangan yang berlaku.

Persoalan kelima adalah masalah perceraian. Selama ini di masyarakat sering terjadi perceraian tapi karena persoalan keuangan mereka tidak mau menguruskan perceraiannya ke pengadilan. Artinya perceraiannya itu hanya dilakukan secara agama. Dalam persoalan ini yang sering muncul adalah ketika mereka hendak menikah kembali dengan orang lain maka tidak akan bisa dilakukan pencatatan ke KUA karena persyaratan mengatakan harus adanya akta cerai dari pengadilan. Belum lagi persoalan-persoalan lain yang muncul. Seperti misalnya seseorang menceraikan isterinya secara sharih berdasar agama pada bulan januari 2006, tapi karena alasan-alasan tertentu pengurusan perceraian baru dilakukan pada bulan maret 2006 dan selesai pada bulan april 2006. Secara agama masa ‘iddah bisa selesai pada bulan Mei juga tapi berdasar putusan pengadilan hal tersebut tidak akan mungkin. Hal ini memunculkan pertanyaan besar jika si wanita tersebut hendak melakukan pernikahan lagi. Apakah masa ‘iddah dihitung sejak pertama ia dicerai secara sharih oleh suaminya atau sejak keluar surat keputusan pengadilan. Padahal putusan pengadilan tersebut tidak menggambarkan proses perceraian yang terjadi bahkan seringkali tidak memperhatikan kondisi si wanita saat dikeluarkan putusan, apakah si wanita dalam keadaan suci atau tidak.

Masalah lain bisa saja terjadi ketika pasangan tersebut hendak rujuk lagi. Apakah syah rujuknya jika mereka menghitung ‘iddah dari tanggal ketetapan putusan pengadilan padahal secara agama masa ‘iddahnya sudah habis. Dan persoalan-persoalan lain yang muncul beragam jenisnya akibat masalah ini. Keengganan masyarakat untuk menguruskan perceraiannya ke pengadilan terkait biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit, sekitar 1 juta rupiah ke atas. Dan ini dirasakan berat oleh masyarakat ekonomi lemah. Padahal perceraian terjadi justru seringkali akibat himpitan persoalan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar